Jumat, 23 Januari 2015

Berlakulah Adil Saudaraku.............

Akhir-akhir ini kita dipertontonkan drama dari para penegak hukum. Dimana pedang hukum seolah digunakan semaunya oleh siapapun yang memegangnya. Padahal sebagian besarnya adalah orang-orang yang mengaku Islam.  Apakah Islam tidak mengajarkan hukum secara adil ? atau bagaimanakah hukum dalam Islam ?..

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Maidah : 8)

Dari ayat tersebut kita bisa melihat betapa Islam mendudukkan hukum secara terhormat. Hukum menjadi berwibawa ketika para penegak hukum dan para pemimpin patuh dan menjadi contoh bagi penegakan hukum itu sendiri. Dalam Islam penerapan hukum tersebut langsung dicontohkan oleh Baginda Rasululloh SAW.

Dari Aisyah ra, bahawasanya kaum Quraisy dibimbangkan dengan sebuah peristiwa dimana seorang wanita dari Bani Makhzumiyah mencuri (dan wajib dipotong tangannya). Mereka berkata: "Siapakah yang berani membicarakan masalah wanita ini kepada Rasulullah SAW (agar dimaafkan)?" Kemudian mereka berkata: "Tidak ada rasanya seseorang pun yang berani membicarakan masalah ini (supaya dimaafkan) selain Usamah bin Zaid, sahabat yang dicintai Rasulullah SAW. Kemudian Usamah membicarakan hal tersebut pada beliau. Lalu Rasulullah s.a.w. bersabda: "Apakah engkau hendak meminta dihapuskannya hukuman yang telah ditentukan oleh Allah SWT?" Beliau kemudian berdiri dan berkhutbah: "Bahwasanya dibinasakannya orang-orang yang ada sebelum kalian adalah karena apabila ada yang mencuri dan ia termasuk golongan orang mulia di kalangan mereka, maka orang tersebut dibiarkan saja (tidak dihukum), sedangkan apabila yang mencuri itu adalah orang yang lemah, maka mereka mengeksekusinya. Demi Allah seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, sungguh akan aku potong tangannya." (Muttafaq 'alaih).

Penegakan hukum yang tidak pandang bulu membuat hukum menjadi berwibawa dan semua orang merasa terayomi, dan tidak khawatir diperlakukan tidak adil. Generasi Islam terdahulu adalah generasi terbaik, karena generasi terdahulu adalah generasi yang menjadikan Al-Quran dan Hadits Nabi sebagai pegangan.

Bentuk keadilan hukum juga ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Sebagai seorang Khalifah, Umar bin Khattab terkenal sangat tegas dan tidak memberikan toleransi terhadap segala bentuk pelanggaran. Dia menghukum semua pelaku pelanggaran tanpa pandang bulu, termasuk putranya sendiri, Abdurrahman.

Abdurrahman merupakan salah satu putra Umar yang tinggal di Mesir. Dia telah melakukan pelanggaran dengan meminum khamr bersama dengan temannya hingga mabuk. Abdurrahman kemudian menghadap ke Gubernur Mesir waktu itu, Amr bin Ash, meminta agar dihukum atas perbuatan yang telah dilakukannya. Amr bin Ash pun menghukum Abdurahman dan temannya dengan hukuman cambuk.

Tetapi, Amr bin Ash ternyata memberikan perlakuan yang berbeda. Jika teman Abdurrahman dihukum di hadapan umum, maka si putra Khalifah ini dihukum di ruang tengah rumahnya.

Umar bin Khattab pun mendengar kabar itu. Dia kemudian mengirim surat kepada Amr bin Ash agar memerintahkan Abdurrahman kembali ke Madinah dengan membungkuk, dengan maksud agar si anak dapat merasakan bagaimana menempuh perjalanan dengan kondisi yang sulit.

Amr bin Ash kemudian melaksanakan isi surat itu dan mengirim kembali surat balasan yang berisi permohonan maaf karena telah menghukum Abdurrahman tidak di hadapan umum. Umar tidak mau menerima cara itu.

Mendapat perintah itu, Abdurrahman kemudian kembali ke Madinah sesuai perintah, yaitu dengan berjalan membungkuk. Dia begitu kelelahan ketika sampai di Madinah.

Tanpa memperhatikan kondisi putranya, Umar bin Khattab langsung menyuruh algojo untuk melaksanakan hukuman cambuk kepada putranya. Seorang sahabat sepuh, Abdurrahman bin Auf pun mengingatkan agar Umar tak melakukan hal itu.

"Wahai Amirul Mukminin, Abdurrahman telah menjalani hukumannya di Mesir. Apakah perlu diulangi lagi?" kata Abdurrahman bin Auf.

Umar pun tidak mau menghiraukan perkataan Abdurrahman bin Auf. Dia meminta Algojo segera melaksanakan penghukuman itu.

Kemudian, Umar mengingatkan kepada seluruh kaum muslim akan hadis Rasulullah tentang kewajiban menegakkan hukum, "Sesungguhnya umat sebelum kamu telah dibinasakan oleh Allah karena apabila di antara mereka ada orang besar bersalah, dibiarkannya, tetapi jika orang kecil yang bersalah, dia dijatuhi hukuman seberat-beratnya."

Abdurrahman lalu dicambuk berkali-kali di hadapan Umar. Dia pun meronta-ronta meminta tolong agar ayahnya mengurangi hukuman itu, tetapi Umar sama sekali tidak menghiraukan.

Hukuman itu terus dijalankan sampai Abdurrahman dalam kondisi sangat kritis. Melihat hal itu, Umar hanya berkata, "Jika kau bertemu Rasulullah SAW, beritahukan bahwa ayahmu melaksanakan hukuman."

Akhirnya, Abdurrahman pun meninggal dalam hukuman. Umar sama sekali tidak menunjukkan kesedihan, karena rasa sayangnya, Umar lebih memilih anaknya dihukum di dunia, agar tidak lagi mendapat hukuman diakhirat. Usai hukuman terhadap Abdurrahman dijalankan, Umar melakukan pelacakan terhadap siapa saja penyebar khamr. Tidak hanya peminum, bahkan sampai penjual khamr pun mendapat hukuman yang berat.

Hukum dalam Islam memperlakukan penguasa dan rakyat sama, bahkan terhadap yang beragama lain pun Islam memperlakukannya sama dihadapan hukum.

Kisahnya berawal ketika Sultan Muhammad al-Fatih memerintahkan untuk membangun sebuah Masjid di kota Istambul. Sultan menunjuk seorang arsitek berkebangsaan Romawi, Abslante yang terkenal hebat saat itu, menjadi konsultan pembangunan Masjid tersebut.

Di antara perintah Sultan ialah pilar-pilar Masjid harus terbuat dari batu pualam dan dibuat tinggi agar Masjid terlihat megah. Sultan sendiri yang menentukan ukuran tinggi pilar-pilar tersebut. Namun karena beberapa hal, sang arsitek memerintahkan pelaksana pembangungan untuk mengurangi ketinggian yang telah ditetapkan Sultan tanpa berkomunikasi terlebih dahulu dengan beliau. Begitu mendengar hal itu, Sultan sangat marah, karena menurutnya pilar-pilar yang dibawa dari tempat yang jauh tersebut jadi tidak bermanfaat sama sekali. Saking marahnya, dia perintahkan untuk memotong tangan arsitek tersebut.

Penyesalan arsitek tidak berguna karena tangannya terlanjur dieksekusi. Tetapi dia tidak tinggal diam menerima keputusan itu, ia pun memperkarakan Sultan kepada Qadhi/Hakim Istambul, Syekh Sari Khadr Jalbi yang kesohor adil di seantero imperium Turki ‘Usmani. Arsitektur tersebut mengadukan perintah zalim Sultan. Qadhi Sari Khadr ternyata tidak bimbang sedikitpun dalam menerima dan memproses pengaduannya, bahkan beliau langsung mengutus seseorang memanggil Sultan supaya datang ke pengadilan karena ada gugatan yang diterimanya dari salah seorang rakyat.

Sultan juga tidak segan memenuhi panggilan Qadhi, karena Sultan paham lebih berkewajiban untuk menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Hadirlah Sultan pada hari yang telah ditentukan. Setelah masuk ruang sidang ia memilih kursi untuk duduk, maka sang Qadhi berkata padanya, “Anda tidak diperkenankan duduk di sini, tapi anda harus berdiri di sebelah orang yang berperkara dengan anda!”
Sultan Muhammad Fatih pun berdiri di sisi orang Romawi itu, yang kemudian menjelaskan pada Qadhi duduk perkara yang menimpanya. Pada gilirannya sang Sultan membenarkan apa yang diadukan orang Romawi tersebut, kemudian dia diam menunggu keputusan sang Qadhi. Sejenak kemudian Qadhi Sari Khadr memandang Sultan dan berkata, “Sesuai dengan hukum syar’i, maka anda dihukum potong tangan berdasarkan qishas!”.

Arsitek Romawi itu tidak percaya mendengar vonis ini, seluruh tubuhnya bergetar mendengar, tidak pernah terpikir dan terbayang olehnya bahwa Qadhi berani memberi sanksi seberat itu. Muhammad al Fatih, penakluk Konstantinopel yang menggetarkan dan menggentarkan seluruh Eropa dihukum potong tangan oleh hakimnya sendiri karena tuntutan seorang Romawi yang Nasrani. Menurut perkiraannya Qadhi tidak lebih berani daripada memerintahkan Sultan untuk memberi ganti rugi saja. Dia terpana, lalu dengan gugup dia menyatakan mencabut tuntutannya, dia hanya berharap diberi ganti rugi, karena hukuman potong tangan untuk Sultan tidak memberi manfaat apa-apa kepadanya. Qadhi Sari akhirnya memutuskan Sultan berkewajiban membayar ganti rugi sebesar sepuluh koin setiap hari seumur hidupnya, sebagai ganti rugi atas kerugian yang begitu besar yang dideritanya. Tapi Sultan Muhammad al-Fatih memutuskan memberikan duapuluh koin setiap harinya sebagai ungkapan gembiranya telah selamat dari hukuman qishas potong tangan, dan rasa penyesalan atas perbuatannya.

Sungguh indahnya hukum dalam Islam, ketika para khalifah ataupun penguasa yang berpegang teguh pada agama dan memberikan contoh dengan benar, dan penegak hukum yang berani, berpegang teguh pada agama dan dapat berlaku adil.

By : Marwan Basewed

0 komentar:

Posting Komentar