CERITA ini adalah cerita dari keeleganan seorang tukang bakso
menjawab pertanyaan pelanggannya. Bahkan mungkin tidak terpikirkan
sebelumnya. Layak untuk menjadi buah perenungan untuk kita.
Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk ngurus
tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak asuh yang
sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik rintik
selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini.
Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor, terdengar suara
ketokan khas tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka keringat, saya
menghentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso setelah
menanyakan anak – anak, “siapa yang mau bakso?”
Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya.
Ada satu hal yang menggelitik pikiran selama ini ketika saya membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu saya bertanya atas rasa penasaran selama ini.
“Mang, kalo boleh tahu, kenapa uang-uang itu Emang pisahkan? Barangkali ada tujuan?” Tanya saya.
“Iya pak, Emang sudah memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso
yang sudah berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya sederhana saja, Emang
hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak Emang, mana yang menjadi
hak orang lain atau tempat ibadah, dan mana yang menjadi hak cita-cita
penyempurnaan iman.”
“Maksudnya…?” saya melanjutkan bertanya.
“Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi
dengan sesama. Emang membagi tiga, dengan pembagian sebagai seperti ini,
Pertama, uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari – hari Emang dan keluarga.
Kedua, uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau
untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17 tahun
menjadi tukang bakso, Emang selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun
kambingnya yang ukuran sedang saja.
Ketiga, uang yang masuk ke kencleng, karena emang ingin
menyempurnakan agama yang Emang pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan
kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji
ini tentu butuh biaya yang besar. Maka Emang berdiskusi dengan istri dan
istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso
ini, Emang harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji.
Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi Emang
dan istri akan melaksanakan ibadah haji.
Hatiku sangat-sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah
jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki
nasib sedikit lebih baik dari si emang tukang bakso tersebut, belum
tentu memiliki pikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan
seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki.
“Iya memang bagus… Tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi
yang mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya,” Tanya saya
kemudian.
“Itulah sebabnya Pak. Emang justru malu kalau bicara soal mampu atau
tidak mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW,
bukan hak pak Camat ataupun MUI. Definisi “mampu” adalah sebuah definisi
dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau
kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin
selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu.
Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, “mampu”, maka
Insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi
kemampuan pada kita,” demikian jawaban si Emang tukang bakso.
Subhnallah…
[ds/islampos/kisah inspirasi]
0 komentar:
Posting Komentar