Minggu, 23 November 2014

3 Wadah Uang Si Emang Tukang Bakso

CERITA ini adalah cerita dari keeleganan seorang tukang bakso menjawab pertanyaan pelanggannya. Bahkan mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Layak untuk menjadi buah perenungan untuk kita.
Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk ngurus tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak asuh yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik rintik selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini.
Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor, terdengar suara ketokan khas tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka keringat, saya menghentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso setelah menanyakan anak – anak, “siapa yang mau bakso?”
Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya.

Ada satu hal yang menggelitik pikiran selama ini ketika saya membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu saya bertanya atas rasa penasaran selama ini.
“Mang, kalo boleh tahu, kenapa uang-uang itu Emang pisahkan? Barangkali ada tujuan?” Tanya saya.
“Iya pak, Emang sudah memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya sederhana saja, Emang hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak Emang, mana yang menjadi hak orang lain atau tempat ibadah, dan mana yang menjadi hak cita-cita penyempurnaan iman.”
“Maksudnya…?” saya melanjutkan bertanya.
“Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Emang membagi tiga, dengan pembagian sebagai seperti ini,
Pertama, uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari – hari Emang dan keluarga.
Kedua, uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso, Emang selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.
Ketiga, uang yang masuk ke kencleng, karena emang ingin menyempurnakan agama yang Emang pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar. Maka Emang berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, Emang harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi Emang dan istri akan melaksanakan ibadah haji.
Hatiku sangat-sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si emang tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki pikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki.
“Iya memang bagus… Tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya,” Tanya saya kemudian.
“Itulah sebabnya Pak. Emang justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI. Definisi “mampu” adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu.
Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, “mampu”, maka Insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita,” demikian jawaban si Emang tukang bakso.
Subhnallah… 

[ds/islampos/kisah inspirasi]

0 komentar:

Posting Komentar